,

Koperasi Digital, Mampukah Kita Raih Indonesia Emas 2045?

Misi Penyelamatan Ekonomi Kerakyatan di Tengah Tsunami Disrupsi, Mampukah Kita Raih Indonesia Emas 2045?

(Edisi Lengkap dengan Data UMKM, Survei SDM, dan Analisis Strategis)

Oleh: Prof. Dr. Ahmad Subagyo*

Indonesia, dengan mimpi besarnya menjadi macan Asia di tahun 2045, kini tengah berjibaku dengan tantangan yang tidak mudah. Fondasi ekonomi yang kokoh, inklusif, dan berkelanjutan adalah harga mati untuk mencapai visi mulia ini. Di tengah riuhnya era digital yang mendisrupsi hampir semua lini kehidupan, koperasi, sang soko guru ekonomi kerakyatan, justru terancam tergerus zaman. Mampukah kita menyelamatkan koperasi, mengubahnya menjadi kekuatan digital, ataukah kita akan menyaksikan sejarah mencatat kegagalan kita dalam memberdayakan ekonomi kerakyatan?

Jurang yang Menganga: UMKM Terbang, Koperasi Tertinggal di Stasiun (Data Terbaru Menggambarkan Realita yang Pahit)

Lima tahun terakhir menjadi potret kontras yang memilukan. Sementara UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) menunjukkan pertumbuhan yang dahsyat, koperasi masih berkutat dengan masalah klasik.


Coba kita tengok data yang terangkum dalam diagram di atas yang berbicara lebih keras dari seribu kata:

  • 2015: Jumlah UMKM mencapai 59.262.772 unit
  • 2016: Jumlah UMKM melesat menjadi 61.651.177 unit
  • 2017: Jumlah UMKM terus meroket menjadi 62.922.617 unit
  • 2018: Jumlah UMKM melonjak bak meteor menjadi 64.194.057 unit
  • 2019: Jumlah UMKM mencapai 65.465.497 unit – sebuah rekor yang fantastis!


Data ini menunjukkan bahwa UMKM adalah mesin ekonomi yang tangguh, mampu menciptakan lapangan kerja dan menyumbang signifikan terhadap PDB. Namun, ironisnya, data ini juga menjadi tamparan keras bagi kita semua. Mengapa koperasi tidak mampu mengikuti jejak UMKM? Apakah ada yang salah dengan strategi kita?

  • Pada tahun 2023, hanya tercatat 14.959 unit KSP dan 3.806 unit KSPPS.
  • Jika dibandingkan dengan tahun 2019 (12.530 unit KSP dan 3.905 unit KSPPS), terlihat adanya peningkatan pada KSP, namun penurunan tipis pada KSPPS.


Jurang pemisah ini semakin menganga, mengancam eksistensi koperasi sebagai pilar ekonomi kerakyatan. Kita perlu bertanya pada diri sendiri: apakah kita sudah melakukan yang terbaik untuk mendukung koperasi?

Dari sisi aset, kedua jenis koperasi ini memang mengalami pertumbuhan yang signifikan. Aset KSP melonjak dari Rp41,2 triliun pada tahun 2019 menjadi Rp100,6 triliun pada tahun 2023. Sementara itu, aset KSPPS meningkat dari Rp10,3 triliun pada tahun 2019 menjadi Rp31,2 triliun pada tahun 2023. Tapi ingat, pertumbuhan aset ini tidak menjamin kesejahteraan anggota atau kontribusi signifikan koperasi terhadap ekonomi kerakyatan. Pertumbuhan aset bisa jadi hanya angka-angka di atas kertas yang tidak berdampak langsung pada kehidupan anggota.

Data mengenai Laba/SHU (Sisa Hasil Usaha) juga memberikan perspektif yang menarik. Laba/SHU KSP mengalami fluktuasi, mencapai puncak pada tahun 2022 (Rp1,7 triliun) dan sedikit menurun pada tahun 2023 (Rp1,36 triliun). Sementara itu, Laba/SHU KSPPS menunjukkan tren peningkatan yang konsisten dari Rp197 miliar pada tahun 2019 menjadi Rp329 miliar pada tahun 2023.

Belajar dari Fintech: Ketika “Si Lincah” Mengubah Permainan (Pelajaran untuk Koperasi yang Terlalu Kaku)

Untuk memahami akar masalah yang menghambat koperasi, mari kita tengok ke industri keuangan digital (fintech). Dalam beberapa tahun terakhir, fintech telah merevolusi cara masyarakat mengakses layanan keuangan. Mereka menawarkan berbagai layanan yang inovatif, mudah diakses, dan terjangkau melalui aplikasi mobile dan platform online.

Kesuksesan fintech didorong oleh kemampuan mereka untuk memanfaatkan teknologi digital secara optimal. Mereka mengandalkan big data, kecerdasan buatan (AI), cloud computing, dan teknologi canggih lainnya untuk memahami perilaku konsumen, personalisasi layanan, dan manajemen risiko yang efektif.

Selain itu, fintech juga unggul dalam hal kecepatan, fleksibilitas, dan inovasi. Mereka lebih cepat dalam mengembangkan produk dan layanan baru, lebih adaptif terhadap perubahan pasar, dan lebih berani dalam mengambil risiko. Mereka seperti “si lincah” yang gesit dan pandai memanfaatkan peluang.

Ironisnya, koperasi seringkali tertinggal dalam hal adopsi teknologi, kurang fleksibel dalam merespons perubahan pasar, dan kurang inovatif dalam mengembangkan produk dan layanan baru. Akibatnya, koperasi kehilangan pangsa pasar dan kesulitan bersaing dengan fintech. Koperasi seringkali terlalu kaku dan lambat dalam beradaptasi dengan perubahan.

Bongkar Habis Akar Masalah: Mengapa Koperasi Sulit Naik Kelas? (Survei SDM Mengungkap Fakta yang Mencengangkan)

Beberapa faktor mendasari kesulitan koperasi dalam beradaptasi dengan era digital:

  1. Mindset dan SDM: Sebagian besar pengurus dan anggota koperasi masih terikat pada mindset tradisional dan kurang familiar dengan teknologi digital. Koperasi juga kekurangan SDM yang kompeten dalam bidang TI dan manajemen digital.
  2. Infrastruktur dan Akses Internet: Tidak semua wilayah di Indonesia memiliki infrastruktur internet yang memadai. Akses internet yang mahal dan tidak stabil menjadi kendala bagi koperasi di daerah terpencil untuk mengadopsi teknologi digital.
  3. Permodalan: Digitalisasi membutuhkan investasi yang signifikan. Koperasi, terutama yang berskala kecil, seringkali kesulitan mengakses pembiayaan untuk digitalisasi.
  4. Regulasi dan Kebijakan: Regulasi dan kebijakan yang mendukung digitalisasi koperasi masih belum optimal. Kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam mendorong digitalisasi koperasi juga menjadi hambatan.
  5. Tata Kelola dan Manajemen: Tata kelola dan manajemen koperasi seringkali kurang profesional dan transparan. Hal ini menghambat inovasi dan investasi di bidang teknologi.


Survei SDM yang dilakukan oleh ADEKMI dan IKOPIN pada April-Mei 2024 memberikan gambaran yang lebih jelas tentang kondisi SDM koperasi di Indonesia:

  • Mayoritas responden adalah lulusan S1 (52,55%) dan S2 (19,34%), namun hanya sedikit yang memiliki latar belakang pendidikan di bidang teknologi atau digital. Kita perlu bertanya: mengapa lulusan terbaik tidak tertarik bekerja di koperasi?
  • Sebagian besar responden menjabat sebagai pengurus koperasi (79,56%), dengan sedikit yang berprofesi sebagai manajer atau karyawan. Ini mengindikasikan kurangnya profesionalisme dalam pengelolaan koperasi.
  • Kebutuhan pelatihan yang paling banyak disebutkan adalah manajemen keuangan koperasi (56,57%) dan teknologi informasi dan koperasi (51,09%).
  • Kompetensi yang paling dibutuhkan adalah akuntansi/keuangan (36,13%), tata kelola (19,34%), dan operasional (12,04%). Ini menunjukkan bahwa koperasi masih berkutat dengan masalah dasar dan belum siap menghadapi tantangan digital.
  • Hampir semua responden (97,45%) memiliki keinginan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam mengelola koperasi.
  • Sebanyak 38,32% responden membutuhkan dukungan dari koperasi dalam merencanakan studi lanjut.


Saatnya Bangkit: Merajut Strategi Transformasi Koperasi Menuju Era Digital (Visi yang Jelas, Aksi yang Konkret!)

Untuk mengejar ketertinggalan dan mewujudkan potensi sebagai pilar ekonomi kerakyatan, koperasi perlu melakukan transformasi digital secara komprehensif. Berikut adalah beberapa strategi yang dapat diimplementasikan:

  1. Revolusi Mindset dan Pengembangan SDM: Pemerintah dan lembaga terkait perlu memberikan pelatihan dan pendampingan intensif kepada pengurus dan anggota koperasi tentang digitalisasi. Kita perlu menciptakan “pasukan digital” yang siap memimpin koperasi menuju era baru.
  2. Pembangunan Infrastruktur dan Akses Internet: Pemerintah perlu memprioritaskan pembangunan infrastruktur internet di seluruh Indonesia, terutama di daerah terpencil. Akses internet yang terjangkau dan stabil adalah fondasi bagi digitalisasi koperasi.
  3. Kemudahan Akses Permodalan: Pemerintah perlu menyediakan program pembiayaan khusus untuk digitalisasi koperasi dengan persyaratan yang mudah dan bunga yang rendah. Kita perlu memastikan bahwa koperasi memiliki sumber daya yang cukup untuk berinvestasi dalam teknologi.
  4. Penyederhanaan Regulasi dan Kebijakan: Pemerintah perlu menyederhanakan regulasi dan kebijakan yang menghambat digitalisasi koperasi. Kita perlu menciptakan lingkungan yang kondusif bagi inovasi dan pertumbuhan koperasi.
  5. Tata Kelola dan Manajemen yang Profesional: Koperasi perlu menerapkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik (good governance) dan manajemen yang profesional. Kita perlu memastikan bahwa koperasi dikelola secara transparan dan akuntabel.
  6. Kolaborasi dengan Fintech: Koperasi dapat menjalin kerjasama dengan fintech untuk memperluas jangkauan layanan dan meningkatkan efisiensi operasional. Kita perlu memanfaatkan keahlian fintech untuk mempercepat transformasi digital koperasi.
  7. Pengembangan Ekosistem Digital Koperasi: Membangun platform digital yang menghubungkan koperasi dengan supplier, buyer, lembaga keuangan, dan stakeholder lainnya. Kita perlu menciptakan ekosistem yang mendukung pertumbuhan dan keberlanjutan koperasi.


IDXCOOP: Apakah Ini Jawaban yang Kita Cari?

IDXCOOP, yang diinisiasi oleh Indonesian Consortium for Cooperative Innovation (ICCI) berkolaborasi dengan Deputi Kelembagaan/Perkoperasian Kemenkop UKM, diluncurkan pada 8 Oktober 2020, dengan tujuan untuk menjembatani koperasi dengan penyedia teknologi yang relevan.

Platform ini berfungsi sebagai marketplace yang menyediakan informasi mengenai profil tech provider beserta layanan/fitur teknologi masing-masing. Koperasi dapat mengakses akun demo dan hotline masing-masing tech provider untuk mendapatkan penawaran dan demonstrasi lebih lanjut.

Pada November 2024, ICCI melakukan pemetaan adopsi teknologi oleh koperasi, yang memberikan gambaran tentang sejauh mana koperasi telah memanfaatkan teknologi dalam berbagai aspek operasional mereka. Hasil pemetaan ini memberikan insight yang berharga bagi para pemangku kepentingan untuk merumuskan strategi digitalisasi yang lebih efektif.

Proyeksi Masa Depan: Mampukah Koperasi Digital Meraih Indonesia Emas 2045?

Masa depan koperasi di era digital sangat bergantung pada kemampuan kita untuk bertindak sekarang. Jika kita hanya berdiam diri dan membiarkan koperasi terus tertinggal, maka mimpi Indonesia Emas 2045 hanya akan menjadi ilusi belaka.

Kita harus berani mengambil risiko, berinovasi, dan berkolaborasi untuk menciptakan ekosistem koperasi yang kuat dan inklusif. Kita harus mengubah mindset, meningkatkan kompetensi SDM, dan memanfaatkan teknologi digital secara optimal.

Hanya dengan begitu, koperasi dapat menjadi pilar ekonomi kerakyatan yang tangguh, mampu bersaing di era global, dan berkontribusi nyata dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045.

Pilihan ada di tangan kita. Apakah kita akan menjadi bagian dari solusi, ataukah kita akan menjadi bagian dari masalah? Mari kita jawab pertanyaan ini dengan tindakan nyata!

Apakah Anda siap menjadi bagian dari gerakan penyelamatan koperasi? []

*Penulis adalah Penasehat IDXCOOP Ecosystem, Ketua Umum Asosiasi Dosen Ekonomi, Koperasi dan Keuangan Mikro Indonesia (ADEKMI) serta menjabat sebagai Wakil Rektor III IKOPIN University.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *